Calon Paskibraka Indonesia Kuantan Singingi 2012 dalam seleksi tingkat kabupaten Kuantan Singingi di Lapangan Limuno Kecamatan Kuantan Tengah
Calon Paskibraka Indonesia Kuantan Singingi 2012 dalam seleksi tingkat kabupaten Kuantan Singingi di Lapangan Limuno Kecamatan Kuantan Tengah
Pengurus Daerah Purna Paskibraka Kuantan Singingi 2012-2016 Adakan Pelatihan Untuk Siswa SMA/SMK/MAN Se Derajat
Untuk mempersiapkan Calon Paskibraka 2012. Pengurus Daerah Purna Paskibraka Kuantan Singingi mengadakan pelatihan Pasus atau PBB/peraturan baris berbaris perkecamatan. Sehingga siswa yang dilatih nanti mampu melaksanakan seleksi yang akan dilaksanakan nantinya.
MARS PURNA PASKIBRAKA INDONESIA
Kami Purna Paskibraka Indonesia
di seluruh nusantara
kuat dan bulat tekatku
berbakti untuk negeriku
Walau tubuhku terluka
semangatku tetap membara
Walau rintangan 'kan menghadang
sampai hingga ajal menjelang
Satukan langkah terus maju
dengan tak mengenal waktu
satukan nusa dan bangsa
menuju Indonesia Jaya
Jayalah tanah airku
Majulah negeriku
Makmurlah bangsaku
Untukmu Indonesiaku
Karena dikibarkan di tiang 17 Istana Merdeka setiap upacara 17 Agustus, bendera pusaka yang usianya sudah sangat tua mulai robek di keempat sudutnya. Pada bulan Agustus 1968, Husein Mutahar sudah diberitahu oleh Presiden Soeharto tentang rencana pembuatan duplikat bendera pusaka. Tapi ia mengusulkan agar penggantian dilakukan pada tahun berikutnya, 1969, karena bendera pusaka harus tetap dikibarkan saat Soeharto memulai jabatan Presiden RI. Pada tahun 1969, pembuatan bendera duplikat disetujui. Dalam usulannya, Mutahar meminta agar duplikat bendera pusaka dibuat dengan tiga syarat, yakni: (1) bahannya dari benang sutera alam, (2) zat pewarna dan alat tenunnya asli Indonesia, dan (3) kain ditenun tanpa jahitan antara merah dan putihnya. Sayang, gagasan itu tidak semuanya terpenuhi karena keterbatasan yang ada. Pembuatan duplikat bendera pusaka itu memang terlaksana, dan dikerjakan oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung, dibantu PT Ratna di Ciawi Bogor. Syarat yang ditentukan Mutahar tidak terlaksana karena bahan pewama asli Indonesia tidak memiliki warna merah standar bendera. Sementara penenunan dengan alat tenun asli bukan mesin akan memakan waktu terlalu lama, sedangkan bendera yang akan dibuat jumlahnya cukup banyak. Duplikat akhimya dibuat dengan bahan sutera, namun menggunakan bahan pewarna impor dan ditenun dengan mesin. Bendera duplikat itu kemudian dibagi-bagikan ke seluruh daerah tingkat I, tingkat II dan perwakilan Indonesia di luar negeri pada 5 Agustus 1969. Namun, untuk pengibaran pada tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka, sebelumnya telah dibuat sebuah duplikat bendera pusaka lain dengan bahan yang tersedia, yakni dari kain bendera (wool) yang berwarna merah dan putih kekuningkuningan. Karena lebar kainnya hanya 50 cm, setiap bagian merah dan putih bendera itu terdiri dari masing-masing tiga potongan kain memanjang. Seluruh potongan itu disatukan dengan mesin jahit dan pada salah satu bagian pinggimya dipasangi sepotong tali tambat. Pemasangannya di tali tiang tidak satu persatu (seperti pada duplikat bendera pusaka hasil karya Balai Penelitian Tekstil), tapi cukup diikatkan pada kedua ujung tali tambatnya. Ketidaksamaan bentuk tali pengikat antara duplikat bendera pusaka di Istana Merdeka dengan duplikat bendera pusaka yang dibagikan ke daerah, seringkali menimbulkan masalah. Dalam pengibaran bendera pusaka di daerah, terjadi ketidakpraktisan saat mengikat tali tambat yang jumlahnya banyak. Hal itu sering membuat waktu yang dibutuhkan untuk mengikat menjadi sangat lama, belum lagi kemungkinan terjadi kesalahan sehingga bendera berbelit sewaktu dibentang sebelum dinaikkan. Pada tahun 1984, setelah dikibarkan di Istana Merdeka setiap tanggal 17 Agustus selama 15 kali, bendera duplikat yang terbuat dari kain wool itu pun terlihat terlihat mulai renta. Mutahar yang menonton upacara pengibaran bendera oleh Paskibraka melalui pesawat televisi, tiba-tiba dikejutkan dengan celetukan ’cucunya’. ”Eyang, kok benderanya sudah tua, apa nggak robek kalau ditiup angin,” kata sang cucu. ”Masya Allah. Aku baru sadar kalau ternyata bendera duplikat itu usianya sudah 15 tahun. Maka, siang itu juga aku mengetik surat yang kutujukan pada Pak Harto. Isinya mengingatkan beliau bahwa bendera duplikat yang dikibarkan di Istana sudah harus ’pensiun’ dan apa mungkin bila dibuatkan duplikat yang baru,” papar Mutahar. Ternyata, Pak Harto membaca surat itu dan memenuhi permintaan Mutahar. ”Allah Maha Besar karena suratku diperhatikan oleh Pak Harto,” kenang Mutahar. Maka, pada tahun 1985 bendera duplikat kedua mulai dikibarkan, sementara bendera duplikat pertama yang terbuat dari kain wool kini disimpan dalam museum di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Bendera duplikat kedua untuk seterusnya menjadi bendera yang dikibarkan setiap 17 Agustus sampai saat ini. Mengingat usianya yang juga sudah ’renta’ yakni 22 tahun, ada baiknya Presiden RI kembali diingatkan untuk memeriksa apakah bendera duplikat kedua itu masih layak untuk dikibarkan. Bila tidak, sudah waktunya pula bendera itu diistirahatkan dan ditempatkan di museum mendampingi duplikat pertama. Sementara untuk pengibaran di Istana Merdeka, bisa dibuatkan duplikat yang baru dengan bahan yang lebih baik dan tahan lama. Sumber : Bulletin Paskibraka 78, Edisi Juni 2007 |
TAK banyak cerita yang selama ini terungkap tentang bendera pusaka. Sebagian besar orang hanya tahu kalau bendera berukuran 2x3 meter itu dijahit dengan tangan oleh Ibu Fatmawati. Bendera itulah yang dikibarkanpada tanggal 17 Agustus 1945, sesaat setalah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berikut ini, adalah sebuah cerita lain tentang bendera pusaka, yang rasanya tidak banyak diketahui orang. Cerita ini dicuplik dari tulisan seorang saksi hidup yang secara tak sengaja terlibat langsung dalam persiapan pembuatan bendera pusaka, yakni Chaerul Basri. TAHUN 1944, setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan oleh Dwi-Tunggal Soekarno–Hatta, Jepang telahmenjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Itu berarti, bendera Merah Putih sudah boleh dikibarkan dan lagu Indonesia Raya boleh dikumandangkan di seluruh Nusantara. Tentu saja, orang-orang yang berperan besar dalam persiapan kemerdekaan memerlukan bendera itu, tak terkecuali Ibu Fatmawati, istri Soekarno yang kelak menjadi Sang Proklamator. Bendera itu dipersiapkannya untuk dikibarkan di depan kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Tak dapat dibayangkan, pada saat sebagian rakyat Indonesia ada yang tak punya pakaian dan menggunakan karung, Ibu Fatmawati memerlukan kain berwarna merah dan putih untuk membuat sebuah bendera. Tidak mudah untuk mendapatkan kain, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih berada di tangan Jepang. Kalaupun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan cara diam-diam dan berbisik-bisik. Untuk itulah, Ibu Fatmawati kemudian memanggil seorang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda dimintanya untuk menemui seorang pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu —yang masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004— adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang- Indonesia pada tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan Tiga A. Shimizu yang politikus, tidak seperti orang Jepang lainnya yang selalu bertindak kasar atas dasar hubungan kekuasaan. Shimizu rajin mendengarkan unek-unek, pikiran dan pendirian pihak Indonesia. Karena itu, ia lebih dianggap "teman" oleh dan mudah diterima di berbagai kalangan, apalagi dengan kemampuan bahasa Indonesianya yang lumayan, meski masih terpatah-patah. Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fatmawati kemudian didapatkan melalui pertolongan seorang pembesar Jepang lainnya yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol. Shimizu meminta pada Chaerul agar kain itu diberikan kepada Ibu Fatmawati. Kain itulah yang kemudian dijahit dengan tangan menjadi sebuah bendera berukuran 2x3 meter oleh Ibu Fatmawati. Cerita itu terasa amat sepele pada waktu itu, dan tak pernah diingat-ingat oleh Chaerul maupun Shimizu. Itu berlangsung sampai tahun 1977, ketika Shimizu berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fatmawati menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkanpertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang sekarang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu. Kenyataan ini begitu membanggakan buat Chaerul, maupun Shimizu, yang tak menyangka bila apa yang mereka lakukan begitu besar artinya untuk bangsa Indonesia sampai saat ini. Chaerul Basri, sang pemuda, adalah putra asal Bukittinggi yang waktu itu telah tamat AMS di Jakarta. Kebetulan, ia adalah teman karib dari Abdullah Hasan (keponakan Husni Thamrin) dan begitu tertarik dengan gerakan kebangsaan, Indonesia Merdeka. Jadi, Chaerul dan Shimizu sendiri sudah saling kenal. Suatu hari, Chaerul pernah dipanggil Shimizu yang sedang mencarikan sebuah rumah untuk "orang besar" (yang tak lain adalah Soekarno). Chaerul yang tahu betul seluk beluk daerah Menteng, lalu menawarkan sebuah gedung di Jalan Pegangsaan Timur 56. Gedung itulah yang akhirnya menjadi tempat dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Setelah berhasil mendapatkan rumah buat Bung Karno, hubungan Chaerul dengan Bung Karno dan Ibu Fatmawati menjadi semakin dekat. Chaerul kenal dengan Ibu Fatmawati pertama kali di atas feri yang membawanya dari Tanjung Karang menuju Merak. Perkenalan itu atas jasa sahabatnya, Semaun Bakri, yang ditugaskan Bung Karno untuk menjemput Ibu Fatmawati ke Tanjung Karang. Waktu itu, Ibu Fatmawati belum memakai nama Fatmawati. Semaun berbisik pada Chaerul bahwa Fatmawati akan mendampingi Bung Karno di Jakarta setelah berpisah dengan Ibu Inggit. Fatmawati masih berkerudung dan memakai pakaian ala Sumatera. Chaerul tercatat pernah menjalani kehidupan militer dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal (Purn). Selain itu, ia pernah menjabat Sekjen Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi (Depnakertranskop) tahun 1966 - 1979 dan kini sebagai Ketua Bidang Sosial Budaya dan Kesejahteraan di Markas Besar Legiun Veteran RI. " syaiful azram – Bulletin Paskibraka ’78 edisi April 2007 |
Last Updated ( Saturday, 07 February 2009 14:00 ) |
Kriteria Anggota Paskibraka |
Pada puncak peringatan hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus akan selalu dilaksanakan suatu upacara yang megah di setiap tingkat, wilayah, kotamadia/kabupaten, propinsi maupun nasional. Rangkaian upacara selain pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah Pengibaran Bendera Merah Putih. Pada saat itulah anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) melaksanakan tugas mengibarkan Bendera Merah Putih. Anggota Paskibraka adalah generasi muda Indonesia yang yang terpilih dari ribuan siswa sekolah melalui seleksi yang berjenjang. Mereka adalah adalah siswa-siswa pilihan yang mempunyai kelebihan dan prestasi yang dapat dibanggakan dan diharapkan akan menjadi penerus para pejuang untuk menjadi pemimpin Indonesia yang mempunyai rasa nasionalisme tinggi, selalu menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Kriteria Umum Calon Anggota Paskibraka Pendidikan
Tahap Penseleksian Seleksi tingkat sekolah
Seleksi tingkat kecamatan Peserta dari perwakilan sekolah akan diseleksi di tingkat Kecamatan di tingkat Kotamadya/kabupaten Seleksi tingkat Kotamadya/Kabupaten
Seleksi tingkat propinsi
---- Sumber : Bulletin Paskibraka '78 PGTS PPI JP 2012 |