Selasa, 13 Maret 2012

Dua Carik Kain Bendera Pusaka

TAK banyak cerita yang selama ini terungkap tentang bendera pusaka. Sebagian besar orang hanya tahu kalau bendera berukuran 2x3 meter itu dijahit dengan tangan oleh Ibu Fatmawati. Bendera itulah yang dikibarkanpada tanggal 17 Agustus 1945, sesaat setalah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berikut ini, adalah sebuah cerita lain tentang bendera pusaka, yang rasanya tidak banyak diketahui orang. Cerita ini dicuplik dari tulisan seorang saksi hidup yang secara tak sengaja terlibat langsung dalam persiapan pembuatan bendera pusaka, yakni Chaerul Basri. TAHUN 1944, setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan oleh Dwi-Tunggal Soekarno–Hatta, Jepang telahmenjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Itu berarti, bendera Merah Putih sudah boleh dikibarkan dan lagu Indonesia Raya boleh dikumandangkan di seluruh Nusantara. Tentu saja, orang-orang yang berperan besar dalam persiapan kemerdekaan memerlukan bendera itu, tak terkecuali Ibu Fatmawati, istri Soekarno yang kelak menjadi Sang Proklamator. Bendera itu dipersiapkannya untuk dikibarkan di depan kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Tak dapat dibayangkan, pada saat sebagian rakyat Indonesia ada yang tak punya pakaian dan menggunakan karung, Ibu Fatmawati memerlukan kain berwarna merah dan putih untuk membuat sebuah bendera. Tidak mudah untuk mendapatkan kain, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih berada di tangan Jepang. Kalaupun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan cara diam-diam dan berbisik-bisik. Untuk itulah, Ibu Fatmawati kemudian memanggil seorang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda dimintanya untuk menemui seorang pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu —yang masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004— adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang- Indonesia pada tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan Tiga A. Shimizu yang politikus, tidak seperti orang Jepang lainnya yang selalu bertindak kasar atas dasar hubungan kekuasaan. Shimizu rajin mendengarkan unek-unek, pikiran dan pendirian pihak Indonesia. Karena itu, ia lebih dianggap "teman" oleh dan mudah diterima di berbagai kalangan, apalagi dengan kemampuan bahasa Indonesianya yang lumayan, meski masih terpatah-patah. Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fatmawati kemudian didapatkan melalui pertolongan seorang pembesar Jepang lainnya yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol. Shimizu meminta pada Chaerul agar kain itu diberikan kepada Ibu Fatmawati. Kain itulah yang kemudian dijahit dengan tangan menjadi sebuah bendera berukuran 2x3 meter oleh Ibu Fatmawati.
Cerita itu terasa amat sepele pada waktu itu, dan tak pernah diingat-ingat oleh Chaerul maupun Shimizu. Itu berlangsung sampai tahun 1977, ketika Shimizu berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fatmawati menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkanpertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang sekarang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu. Kenyataan ini begitu membanggakan buat Chaerul, maupun Shimizu, yang tak menyangka bila apa yang mereka lakukan begitu besar artinya untuk bangsa Indonesia sampai saat ini. Chaerul Basri, sang pemuda, adalah putra asal Bukittinggi yang waktu itu telah tamat AMS di Jakarta. Kebetulan, ia adalah teman karib dari Abdullah Hasan (keponakan Husni Thamrin) dan begitu tertarik dengan gerakan kebangsaan, Indonesia Merdeka. Jadi, Chaerul dan Shimizu sendiri sudah saling kenal. Suatu hari, Chaerul pernah dipanggil Shimizu yang sedang mencarikan sebuah rumah untuk "orang besar" (yang tak lain adalah Soekarno). Chaerul yang tahu betul seluk beluk daerah Menteng, lalu menawarkan sebuah gedung di Jalan Pegangsaan Timur 56. Gedung itulah yang akhirnya menjadi tempat dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Setelah berhasil mendapatkan rumah buat Bung Karno, hubungan Chaerul dengan Bung Karno dan Ibu Fatmawati menjadi semakin dekat. Chaerul kenal dengan Ibu Fatmawati pertama kali di atas feri yang membawanya dari Tanjung Karang menuju Merak. Perkenalan itu atas jasa sahabatnya, Semaun Bakri, yang ditugaskan Bung Karno untuk menjemput Ibu Fatmawati ke Tanjung Karang. Waktu itu, Ibu Fatmawati belum memakai nama Fatmawati. Semaun berbisik pada Chaerul bahwa Fatmawati akan mendampingi Bung Karno di Jakarta setelah berpisah dengan Ibu Inggit. Fatmawati masih berkerudung dan memakai pakaian ala Sumatera. Chaerul tercatat pernah menjalani kehidupan militer dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal (Purn). Selain itu, ia pernah menjabat Sekjen Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi (Depnakertranskop) tahun 1966 - 1979 dan kini sebagai Ketua Bidang Sosial Budaya dan Kesejahteraan di Markas Besar Legiun Veteran RI. " syaiful azram – Bulletin Paskibraka ’78 edisi April 2007
Last Updated ( Saturday, 07 February 2009 14:00 )
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar